Membangun Liga 1 Untuk Mempertahankan Momentum Timnas Indonesia


 Jangan sampai euforia kebangkitan Timnas Indonesia tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas Liga 1.


Opini: Ardi Pramono | Editor: Sandy Mariatna


Timnas Indonesia tampil mengesankan saat melawan Vietnam di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Namun, tidak sedikit yang pesimistis bahwa ini bukanlah titik balik melainkan efek kejut karena kehadiran para pemain naturalisasi.


Tentu saja pendapat ini tidak muncul tiba-tiba tanpa dasar, faktanya Shin Tae-yong sendiri pernah mengkritik Liga 1 yang dianggapnya masih di bawah liga lain. Bagi STY, tanpa liga yang baik, pembicaraan mengenai timnas juara adalah omong kosong belaka.


Kritikan STY ini bisa dibilang bagaikan kaset rusak. Sudah beberapa kali Liga 1 mengalami perubahan, baik minor maupun mayor, demi memperbaiki kualitas kompetisi. Mulai dari nama, sistem kompetisi, hingga aturan marquee player.


Solusi yang ditawarkan di Liga 1 ini tidak muncul tiba-tiba karena pernah diterapkan di negara-negara yang mencoba meningkatkan ekosistem sepakbolanya. Misalnya, aturan marquee player pernah dipakai di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Qatar sebelum kemudian diterapkan dalam skala yang lebih gila di Arab Saudi.


Di musim ini, Liga 1 menerapkan format championship series dan juga hendak mencoba teknologi VAR. Banyak upaya telah dan sedang dilakukan oleh otoritas sepakbola Indonesia, tapi kualitas Liga 1 masih begitu-begitu saja. Lalu apa masalahnya?


Dalam mengadopsi suatu sistem, kita harus melihat kesesuaian dengan keadaan. Pertama, citra sepakbola Indonesia perlu diperbaiki. Citra sepakbola Indonesia mirip dengan Inggris tahun 80’an. Saat itu sepakbola dianggap sebagai hiburan yang tidak aman. Penuh dengan hooligan dan kekerasan.


Puncak dari masalah itu adalah tragedi Heysel yang membuat klub-klub Inggris dilarang tampil di Eropa. Kita pun mengalami fenomena yang sama pada Tragedi Kanjuruhan. Setelah kejadian itu, Inggris berbenah total, dan liga mereka menjadi tontonan keluarga dan sangat aman.



Inilah yang harus dicapai Indonesia sebelum membicarakan hal-hal lainnya. Citra sepakbola Indonesia harus diubah dulu sebagai tontonan yang aman. Hal ini membuat nilai komersial sepakbola Indonesia naik. Jika nilai komersial Liga Indonesia naik, maka akan mudah untuk menaikkan kesejahteraan pemain sehingga pemain akan tampil lebih lepas. Pemerintah harus berperan aktif menegakkan hukum, memberikan jaminan keamanan dan berbagai fasilitas lainnya.

Kedua, kita jangan merasa harus seperti Eropa. Negara-negara Eropa memiliki wilayah lebih kecil, tim-tim yang berdekatan secara geografis, dan transportasi yang baik. Harus diakui, kita tidak memiliki itu. Ketimbang membuat sistem liga penuh, kenapa kita tidak bikin sistem liga regional?

Nantinya, liga ini terpusat secara geografis seperti di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali-NTT-NTB, dan Papua. Liga-liga kecil ini tidak perlu menggunakan sistem promosi dan degradasi. Peringkat tiga besar setiap region kemudian akan bertanding di babak play-off.

Dengan sistem ini, lobi-lobi supaya tim tidak terdegradasi ataupun suap pada wasit akan hilang dengan sendirinya karena ketakutan promosi degradasi akan hilang dan semua tim berkesempatan tampil di kasta tertinggi. Pelatih timnas juga lebih punya banyak pilihan.



Ketiga, jangan hanya mau instan saja, tapi kita harus membangun kompetisi dengan prinsip-prinsip kedewasaan. Prinsip kedewasaan yang dimaksud adalah alih-alih mencari pemain bintang, Indonesia wajib melakukan penguatan sistem akademi dan pembinaan dari bawah. Solusi klasik, tapi tidak pernah gagal.

Hal inilah yang dilakukan Jepang. Pembinaan dapat dilakukan dengan melibatkan SMP dan SMA di seluruh Indonesia sehingga nantinya pemain pemain akan bertumbuh dengan tidak hanya kemampuan sepakbola yang baik tapi juga kepastian pendidikan formal.

Dalam beberapa tahun ke depan, kita kemudian akan menikmati hasil di mana talenta-talenta berkembang dan melimpah sehingga kita bisa bersaing di kancah dunia tanpa menghabiskan uang milyaran rupiah hanya untuk satu atau dua marquee player.

Jangan sampai kita latah seperti Tiongkok yang jor-joran beli pemain top, tapi kini liganya “hilang” begitu saja. Masa kita mau seperti itu.

Redaksi GOAL Indonesia menerima opini dari pembaca. Silakan kirim artikel disertai identitas diri ke alamat email kami

About Beritabola Jakartacash

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments :

Posting Komentar